my best friends

my best friends

Selasa, 07 Desember 2010

Komponen Belajar dan Pembelajaran


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Setiap pendidikan selalu berurusan dengan manusia, karena hanya manusia yang dapat dididik dan harus selalu dididik. Tentu sangat logis bagi manusia memilih jalur pendididkan untuk meningkatkan potensi belajarnya. Titik berat pendidikan masa-masa mendatang adalah peningkatan mutu dan perluasan kesempatan belajar untuk semua jenjang dan jenis pendidikan. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru juga berorientasi pada strategi pembelajaran dan pengembangan kurikulum.
            Sebagai guru professional, diharapkan guru memiliki kemampuan melakukan penelitian secara sederhana yang berkaitan dengan belajar dan pembelajaran agar dapat menemukan masalah-masalah kesulitan belajar dan memecahkan masalah-masalah tersebut dengan melekukan bimbingan belajar. Dalam pencarian dan penemuan masalah-masalah tersebut secara profesional guru dapat melakukan evaluasi pembelajaran dengan melakukan test hasil belajar untuk mengukur kemajuan belajar siswa.
            Mempelajari ilmu mendidik menurut M.J. Laugeveld berarti mengubah diri sendiri, artinya dengan mempelajari ilmu mendidik seseorang dapat membenahi tindakan-tindakannya, sehinggga terhindar dari kesalahan-kesalahan mendidik. Pendidikan itu adalah proses jangka panjang, memerlukan waktu lama untuk melihat hasilnya. Sehingga jika terjadi salah didik hal itu tidak segera dapat diketahui. Karena itu teori belajar dan pembelajaran yang digunakan harus benar-benar sesuatu yang diperhitungkan dengan cermat. Teori tersebut dipakai sebagai pedoman yang memungkinkan dilakukannya antisipasi ke masa depan. Menurut M.J. Laugeveld bahwa membahas pendidka berarti memahami bagaimana implementasi proses pengoprasian nilai-nilai, dengan menggunakan metode dan pendekatan fenomenologis.
            Berkaitan dengan konsep belajar, banyak orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mencari ilmu atau menuntut ilmu saja. Ada lagi yang secara lebih khusus mengartikan belajar adalah tingkah laku menyerap ilmu pengetahuan. Pendapat demikian tentu tidak salah, karena belajar itu akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang tampak pada kemampuan sebagai hasil belajar. Prinsip ini juga berlaku pada pendidikan inklusi, karena bagi mereka yang mengikuti pendidikan inklusi juga diarapkan akan tampak kemampuan yang berarti sebagai hasil belajarnay di sekolah. Kemampuan yang diperoleh ini, tentu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak yang mengikuti pendidikan inklusi.
            Untuk memperlancar proses belajar diperlukan pengetahuan mengenai teori belajar dan pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran guna untuk menentukan pendekatan yang sesuai, baik dilihat dari bidang keilmuan maupun anak didik sebagai subjek belajar. Komponen-komponen belajar tersebut memberi kontribusi bagi para pendidik dalam melaksanakan tugas profesionalnaya. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari kegiatan pembelajaran dapat dirasakan manfaatnya bagi peserta didik. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan memaparkan uraian tentang “Komponen-Komponen Belajar dan Pembelajaran”.

B. Rumusan Masalah        
Dari latar belakang di atas, penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi dalam pembelajaran?
2. Apa saja fungsi dan jenis dari media pembelajaran?
3. Apa saja diagnostik kesulitan belajar dan bimbingan belajar?
4. Bagaimana evaluasi dalam pembelajaran?
5. Bagaimana pengembangan kurikulum dalam pembelajaran?
6. Apa yang dimaksud pendidikan inklusi dan apa saja model pendidikan inklusi?
7. Apa saja teori belajar?
8. Apa saja teori pembelajaran?
9. Bagaimana contoh RPP?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari rumusan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana strategi dalam pembelajaran.
2. Untuk mengetahui fungsi dan jenis dari media pembelajaran.
3. Untuk mengetahui diagnostik kesulitan belajar dan bimbingan belajar.
4. Untuk mengetahui evaluasi dalam pembelajaran.
5. Untuk mengetahui pengembangan kurikulumdalam pembelajaran.
6. Untuk mengetahui pengertian pendidikan inklusi dan apa saja model pendidikan inklusi.
7. Untuk mengetahui macam-macam teori belajar.
8. Untuk mengetahui macam-macam teori pembelajaran.
9. Untuk mengetahui bagaimana contoh RPP.



PEMBAHASAN

2.1 Strategi Pembelajaran
            Strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan strategi pembelajaran adalah pola-pola kegiatan guru, murid dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar supaya sesuai dengan yang diharapkan, antara lain:
  1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku kepribadian peserta didik seperti bagaimana yang diharapkan.
  2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
  3. Memilih dan menetapkan  prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling efektif dan tepat, sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran.
  4. Menetapkan norma-norma dan kriteria keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi kegiatan belajar mengajar, yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik sebagai penyempurna sistem instruksional  yang bersangkutan secara keseluruhan.
            Untuk mencapai suatu tujuan kegiatan pembelajaran, seorang guru yang berperan sebagai pengajar skaligus pembimbing harus memperhatikan komponen-komponen dalam kegiatan belajar mengajar antara lain tujuan pembelajaran, bahan ajar, metode yang digunakan, media pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar. Dengan memperhatikan komponen-komponen tersebut diharapkan sasaran kegiatan belajar mengajar dapat terwujud yaitu untuk membentuk peserta didik yang berkepribadian baik, mampu berfikir aktif dan kreatif. Ada tiga pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan strategi pembelajaran, yaitu:
  1. Tahap Permulaan (Prainstruksional) adalah tahap persiapan yang ditempuh guru pada saat ia memulai proses belajar dan mengajar. Tujuan tahap ini pada hakikatnya adalah mengungkapkan kembali tanggapan siswa terhadap bahan yang telah diberikan dan menumbuhkan kondisi belajar yang efektif. Kegiatan ini akan mempengaruhi keberhasilan siswa.
  2. Tahap Pengajaran (Instruksional) adalah tahap pengajaran atau tahap inti, yakni tahapan memberikan bahan pelajaran yang telah disusun guru sebelumnya. Misalnya: menjelaskan pada siswa tujuan dari pembelajaran, menuliskan pokok materi yang akan dibahas, penggunaan alat bantu pengajaran, menyimpulkan hasil pembahasan.
  3. Tahap Evaluasi atau Tindak Lanjut, tujuan tahap ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari tahap kedua.
            Ketiga tahap diatas merupakan satu rangkaian kegiatan yang terpadu. Guru dituntut untuk mampu dan dapat mengatur waktu dan kegiatan secara fleksibel, sehingga ketiga rangkaian tersebut diterima oleh siswa secara utuh. Disinilah letak keterampilan profesional dari seorang guru dalammelaksanakan strategi pembelajaran.

2.2 Media Pembelajaran
            Dewasa ini media dan sumber belajar dapat ditemukan dengan mudah. Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.
            Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Media memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
  1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
  2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan: obyek terlalu besar; obyek terlalu kecil; obyek yang terlalu kompleks; obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
  3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
  4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan.
  5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
  6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
  7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
  8. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak
Jenis media pembelajaran, yaitu:
  1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik.
  2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya.
  3. Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya.
  4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.
            Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.
            Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti: biaya; ketepatgunaan; keadaan peserta didik; ketresediaan; dan mutu teknis.

2.3 Evaluasi Pembelajaran
            Evaluasi merupakan proses sederhana memberikan atau menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, objek, orang, dan masih banyak lagi (Davis,1981:3). Menurut Wand dan Brown, evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu (dalam Nurkancana, 1986:1). Dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, objek, orang, dan yang lain) berdasarkan kriteria tertentu melalui penilaian.
            Kegiatan evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran atau pendidikan. Evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar adalah proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian atau pengukuran hasil belajar. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, kemudian tingkat keberhasilan tersebut ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan suatu proses untuk menentukan jasa, nilai, atau manfaat kegiatan pembelajaran melalui kegiatan penilaian atau pengukuran.
            Antara evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran terdapat perbedaan yang mendasar. Evaluasi hasil belajar menekankan pada perolehan informasi, yaitu seberapa banyak perolehan siswa dalam mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan. Sehingga evaluasi hasil belajar menetapkan baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mencapai tujuan pengajaran secara optimal. Dengan demikian evaluasi pembelajaran menetapkan baik buruknya proses dari kegiatan pembelajaran.
            Kedudukan evaluasi dalam proses pendidikan bersifat integratif, artinya setiap ada proses pendidikan pasti ada evaluasi. Evaluasi dalam proses pendidikan dituntut memenuhi syarat-syarat berupa kesahihan (validitas), keterandalan (kepercayaan), dan kepraktisan. Fungsi dan tujuan evaluasi pembelajaran adalah:
  1. Evaluasi pembelajaran untuk pengembangan. Maksudnya evaluasi pembelajaran sedang menjalankan fungsi formatif. Hal ini bertitik tolak dari pandangan bahwa fungsi formatif evaluasi dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memoerbaiki bagian tertentu bagian kurikulum yangsedang dikembangkan (Hasan,1988:39).
  2. Evaluasi pembelajaran untuk akreditasi. Ini dilaksanakan apabila hasil kegiatan evaluasi pembelajaran digunakan sebagai dasar akreditasi lembaga pendidikan.
            Kegiatan evaluasi pembelajaran melalui tahap-tahap yaitu tahap penyusunan rencana, tahap penyusunan istrumen, tahap pengumpulan data, tahap analisa data, tahap penyusunan laporan evaluasi pembelajaran. Evaluasi pembelajaran tidak hanya dilakukan oleh seorang guru sendirian. Pelaksana atau evaluator evaluasi pembelajaran adalah tim yang tediri dari beberapa orang ahli. Tetapi sebagai seorang guru profesional hendaknya dapat melakukan keghiatan evaluasi pembelajaran dengan baik sesuai dengan tahap-tahap evaluasi.

2.4 Diagnostik Kesulitan Belajar dan Bimbingan Belajar
            Diagnosis merupakan istilah yang diadopsi dari bidang medis. Menurut Thorndik dan Hagen (Abidin S.M.,2002:307), diagnostik dapat diartikan sebagai:
  1. Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan study yang seksama mengenai gejala-gejalanya.
  2. Study yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik yang esensial.
  3. Keputusan yang dicapai setelah melaakukan suatu study yang seksama atas gejala-gejala tentang suatu hal.
            Dengan demikian dapat disimpulakan proses diagnosis bukan hanya sekedar mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta latar belakang dari suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga mengimplikasikan suatu upaya untuk meramalkan kemungkinan dan menyarankan tinadak pemecahannya.
            Ada beberapa pendapat mengenai kesulitan belajar. Blassic dan Jones, sebagaimana dikutip oleh Warkitri ddk. (1990 : 8.3), menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah terdapatnya suatu jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang diperoleh. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar adalah individu yang normal inteligensinya, tetapi menunjukkan satu atau beberapa kekurangan penting dalam proses belajar, baik persepsi, ingatan, perhatian, maupun fungsi motoriknya.
            Sementara itu Siti Martdiyanti dkk. menganggap kesulitan belajar sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut mungkin disadari atau tidak disadari oleh yang bersangkutan, mungkin bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam proses belajarnya. Bila kegiatan diagnosis diarahkan pada masalah yang terjadi pada belajar, maka disebut sebagai diagnosis kesulitan belajar. Melalui diagnosis kesulitan belajar gejala-gejala yang menunjukkan adanya kesulitan dalam belajar diidentifikasi, dicari faktor-faktor yang menyebabkannya, dan diupayakan jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut. Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
  1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
  2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
  3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
  4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
  5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
            Kesulitan atau masalah belajar dapat dikenal berdasarkan gejala yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk perilaku, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Menurut Warkitri dkk. (1990 : 8.5 – 8.6), individu yang mengalami kesulitan belajar menunjukkan gejala sebagai berikut:
  1. Hasil belajar yang dicapai rendah dibawah rata-rata kelompoknya.
  2. Hasil belajar yang dicapai sekarang lebih rendah dari pada sebelumnya.
  3. Hasil belajar yang dicapai tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan.
  4. Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar.
  5. Menunjukkan sikap yang kurang wajar. Masa bodoh dengan proses belajar dan pembelajaran, mendapat nilai kurang tidak menyesal, dst.
  6. Menunjukkan perilaku yang menyimpang dari norma. Misalnya membolos, pulang sebelum waktunya, dst.
  7. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, misalnya mudah tersinggung, suka menyendiri, dan bertindak agresif.
Menurut Burton, sebagaimana dikutip oleh Abin S.M. (2002 : 325-326), faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar individu dapat berupa:
  1. Faktor Internal, adalah faktor yang berasal dari dalam diri yang bersangkutan. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor kejiwaan, antara lain: kurangnya minat akan belajar, motifasi belajar rendah, kurangnya rasa percaya diri, disiplin pribadi rendah, sering meremehkan persoalan, sering mengalami konflik psikis, dan integritas kepribadian lemah.
b. Faktor Kejasmanian, antara lain:  keadaan fisik lemah (mudah terserang penyakit), adanya gangguan pada fungsi indera, dan kelelahan secara fisik.
2. Faktor Eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar yang berangkutan. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.Faktor Instrumental, antara lain: kemampuan profesional pendidik yang tidak memadai, kurikulum yang terlalu berat, program belajar dan pembelajaran yang tidak tersusun dengan baik, dan fasilitas belajar yang tidak memadai.
b.Faktor lingkungan, antara lain: keadaan  lingkungan keluarga yang tidak harmonis, lingkungan sosial yang tidak kondusif, teman bergaul yang tidak baik.
            Diagnosis kesulitan belajar merupakan suatu prosedur dalam memecahkan kesulitan belajar Sebagai prosedur maka diagnosis kesulitan belajar terdiri dari langkah-langkah yang tersusun secara sistematis. Menurut Rosss dan Stanley (Abin S.M., 2002 : 309), tahapan-tahapan diagnosis kesulitan belajar adalah:
  1. Mengidentifikasi peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
  2. Melokasikan letak kesulitan belajar.
  3. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.
  4. Memperkirakan alternatif pertolongan.
  5. Menetapkan kemungkinan teknik mengatasi kesulitan belajar.
  6. Pelaksanaan pemberian pertolongan.
            Seorang pendidik berperan penting dalam upaya menangani kesulitan belajar siswa. Pengertian bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Identifikasi Khusus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga membutuhkan layanan  bimbingan belajar, yaitu:
a.       Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
b.      Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
c.       Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
d.      Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
e.       Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
  1. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
  1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
  1. Prognosi
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
  1. Remedial atau referra
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
  1. Evaluasi
Cara manapun evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan yang telah diberikan terhapad pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

2.5 Pengembangan Kurikulum
            Kata kurikulum berasal dari bahasa latin “curriculum” semula berarti “a running course, or race corse, especially a chariot race cource” yang berarti jalur pacu dan secara tradiosionalkurikulum disajikan seperti itu (ibarat jalan) bagi kebanyakan orang. Terdapat pula dalam bahasa Perancis “courier” artinya “to run” atau berlari. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian kurikulum:
  1. Saylor dan Alexander (1956:3) merumuskan kurikulum sebagai “the total effort of the school to going about desired outcomes in school and out of school situations” yaitu kurikulum tidak sekedar mata pelajaran tetapi segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
  2. Zais (1976) pengertian kurikulum yakni: (1) kurikulum sebagai program pelajaran; (2) kurikulum sebagai isi pelajaran; (3) kurikulum sebagai pengalaman belajar yang direncanakan; (4) kurikulum sebagai pengalaman dibawah tanggung jawab sekolah; (5) kurikulum sebagai rencana tertulis untuk dilaksanakan.
  3. pengertian kurikulum menurut pandangan lama yaitu kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah. Kurikulum lama berorientasi pengalaman masa lampau, tidak berdasarkan suatu filsafat pendidikan yang jelas.
  4. Pendapat yang baru atau modern tentang kurikulum, yaitu kurikulum bersifat luas bukan saja terdiri dari mata pelajaran (courses) tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah.
Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai sisi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
            Kurikulum sebagai  program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan para siswa, yakni:
  1. Peran konversatif, yaitu mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda.
  2. Peranan kritis atau evaluatif, yaitu aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis.
  3. Peran kreatif, yaitu menciptakan dan menyusun suatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat.
Disamping memiliki peranan kurikulum juga memiliki fungsi yakni:
  1. Penyesuaian yaitu kemampuan individu menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara keseluruhan.
  2. Pengintergasian yaitu mendidk pribadi yang terintegrasi dengan masyarakat.
  3. Deferensiasi  yaitu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat.
  4. Persiapan yaitu mempersiapkan siswa untuk dapat dapat melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
  5. Pemilihan  yaitu memberi kepada seseorang untuk memilih apa yang diinginkannya dan menarik perhatiannya.
  6. Diagnostik yaitu membantu siswa memahami dan menerima dirinyasehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
            Proses pengembangan kurikulum ialah kebutuhan untuk menspesifikasi peranan-peranan lulusan yang harus dilaksanakan dalam bidang pekerjaan tertentu. Pada dasarnya kurikulum dirancang dengan maksud mengembangkan siswa agar mampu melaksanakan peranan-peranan itu. UUSPN No. 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 1 menyatakan pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Artinya kurikulum tidak boleh liar, tetapi harus berpedoman pada standar kurikulum nasional. Adapun pengembangan melebihi standar nasional hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan, tentu saja dengan memperhatikan potensi daerah dan potensi peserta didik.
            Upaya pengembangan kurikulum untuk memperoleh mutu yang bersaing oleh institusi satuan pendidikan dapat melakukan perampingan dan perluasan kurikulum. Pengembangan kurikulum menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan pendidikan nasional. Sejalan dengan hal itu, langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler (1949) mencakup aspek (1) tujuan sekolah; (2) pengalaman belajar sesuai dengan tujuan; (3) pengelolaan pengalaman belajar dan penilaian tujuan belajar sebagai komponen yang dijadiakan perhatian utama. Pada perkembangan selanjutnya, Taba (1962) mengembangkan model pengembangan kurikulum yang dapat dikatakan sebagai refleksi dan tradisi pengembangan kurikulum modern. Hankins dan Hammil (1995:19) mengemukakan langkah pengembangan kurikulum akan banyak bergantung pada peranan guru sebagai pengembang kurikulum.Lebih lanjut ditegaskan bahwa ada 7 langkah pengembangan kurikulum, yaitu:
  1. Mengembangkan langkah diagnosa kebutuhan (diagnosis of needs).
  2. Merumuskan tujuan (formulation of objectives).
  3. Menyeleksi konten (selection of content).
  4. Mengorganisasikan konten (organization of content).
  5. Menyeleksi pengalaman belajar (selection of learning experiences).
  6. Mengorganisasikan pengalaman belajar (organization of learning experiences)
  7. Mengevaluasi dan makna evaluasi (evaluation and means of evaluation).
            Arah penyusunan dan pengembangan kurikulum berbasis kemampuan dasar yang akan dilakukan di sekolah di Indonesia, disusun dengan pendekatan efektif. Hasan (2002:3) mengemukakan model proses proses pengembangan kurikulum masa depan. Pengembangan kurikulum berangkat dari penetapan misi masa depan pendidikan yang akan melahirkan manusia yang diharpakan sesuai kualitas yang dibutuhkan oleh masyarakat.
            Untuk menetapkan visi masa depan tersebut disesuaikan dengan filsafat kurikulum, sehingga pada gilirannya standar kurikulum yang harus dikembangkan tersebut difokuskan pada kualitas pendidikan yang harus dikembangkan. Kerangka pengembangan kurikulum tersebut memuat tujuan sebagai sasaran kualitas peserta didik yang diharapkan, materi yang tertuang dalam silabus maupun bahan ajar, proses dalam kegiatan belajar mengajar, evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar, dan pedoman pelaksaan yang dipandang dapat diimplementasiakn dengan  baik dan benar sesuai dengan standar yang ditentukan. Langkah pengembangan kurikulum dalam rangka mewujudkan kurikulum berbasis kemampuan dasar yang akan menjadi arah kurikulum sekolah di Indonesia masa depan, pada hakekatnya mendasarkan pada standar tertentu sesuai yang diharapkan. Standar ini dapat berlaku secara nasional serta dapat berlaku di daerah masing-masing.

2.6 Pendidikan Inklusi
            Pendidikan inklusi merupakan hal baru di Indonesia dan belum banyak disosialisasikan apalagi tentang bentuk pelaksanaan dan sistem pendidikan tersebut. Pendidikan Inklusi sebenarnya merupakan model Penyelenggaraan Program Pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkautan. Latar belakang munculnya pendidikan inklusi ini karena terbatasnya Sekolah Luar Biasa (SLB) atau Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang masih sangat terbatas jumlahnya dan sebatas tempat tertentu yaitu baru ditingkat kecamatan, itupun milik swasta, sementara yang SLB Negeri berada di tingkat Kabupaten.
            Pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi dengan tujuan memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin. Tidak kalah pentingnya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak cacat yang keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak cacat untuk berintegarasi dengan anak normal baik dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, karena dasar dari pelaksanaan Pendidikan Inklusi sangat jelas yaitu UUD 1945, UU No. 29 Tahun 2003, juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacar, PP No. 72 Tahun 1991 tentang PLB dan SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003.
            Penyelenggaraan pendidikan inklusi memang tidak sesederhana menyelenggarakan sekolah umum.  Kenyataan di lapangan memerlukan sarana yang cukup, misalnya gedung sekolah dengan menyesuaikan kondisi anak. Peralatan pendidikan yang memadai, contoh bagi tuna netra perlu alat tulis Braille, tuna rungu perlu alat Bantu dengar, tuna daksa perlu kursi roda dan masih banyak lagi fasilitas yang harus disediakan dengan harapan anag cact dapat berkembang  kemampuannya secara optimal.
            Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain:
  1. Keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal.
  2. Lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi.
  3. Memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya.
  4. Anak yang berkelainan akan belejar menerima dirinya sebagaimana adanya.
  5. Anak cacat berkesempatan untuk berpartisipasi menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal.
  6. Membutuhkan peganagan diri yaitu dengan belajar secara kompetitif, eksistensi anak cacat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.
            Direktorat LPB (2007:7) menjelaskan tentang penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
  1. Kelas Reguler (inklusi penuh).
Anak berkelainan belajar bersama anak anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengann menggunakan kurikulum yang sama.
  1. Kelas reguler dengan cluster.
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3.      Kelas reguler dengan pull out.
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4.      Kelas reguler dengan cluster dan pull out.
Anak berkelainan  belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dengan kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu di tarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru  pembimbing khusus.
5.      Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian.
Anak berkelainan belajar didalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6.      Kelas khusus penuh anak berkelainan belajar didalam kelas khusus pada sekolah reguler.
            Keberadaan anak cacat (diffable) tak lepas dari peran serta tenaga ahli. Apabila pendidikan inklusi benar-benar diselenggarakan secara ideal setiap sekolah harus ada, sebab tanpa pengawasan dan penanganan secara khusus dapat berakibat fatal. Suatu contoh : anak cerebral Palsy (jenis tuna dasa) perlu dokter syaraf, orthopedic dan psikolog, sebab anak seperti ini memerlukan ketenangan jiwa sehingga mampu menjaga kondisi yang prima.
            Konsekuensi dari penyelenggaraan program ini harus membutuhkan biaya yang mahal, sehingga idealnya pemerintah mengambil peran agar pendidikan ini dapat terlaksana dengan baik. Tentang masalah tenaga ahli dapat kerjasama dengan puskesmas atau rumah sakit terdekat antara departemen atau institusi dengan diperluas adanya SKB (Surat keputasan Bersama) para pejabat pemerintah. Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan sekolah inklusi, bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan narasumber bagi guru-guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.




2.7 Teori Belajar
1. Teori Belajar Deskriptif
            Teori belajar adalah deskriptif jarena tujuan utamanya memberikan proses belajar. Teori belajar menaruh perahatian pada hubungan diantara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar atau bagaimana seseorang belajar. Teori deskriptif  adalah goal free (untuk memberikan hasil).
2. Teori Belajar Behavioristik
            Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antar stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan oerubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon.
            Faktor lain yang juga dianggap penting adalah penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Sebaliknya jika penguatan dikurangi (negative reinforcement) maka respon juga akan tetap menguat.
3. Teori Belajar Menurut Thorndike
            Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa saja yang dapat merangsang tejadinya kegiatan belajar. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar.
4. Teori Belajar Menurut Watson
            Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar tidak perlu diperhitungkan.

5. Teori Belajar Menurut Clark Hull
            Teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam kegiatan belajar hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan bilogis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
6.Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
            Menurut Guthrie, stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis. Stimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar stimulus dan respon bersifat lebih tetap.
7. Teori Belajar Menurut Skinner
            Menurut skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Skinner tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Skinner lebih percaya apa yang disebut sebagai penguat negatif.  Lawan dari penguat negatif  adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memprkuat respon. Namun bedanya adalah bila penguat positif ditambah, penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat respon.
8. Teori Belajar Kognitif
            Menurut teori kognitif belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimiliki. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang. Teori belajar konitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar.
9. Teori Belajar Menurut Piaget
            Menurut piagaet, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat yaitu:
  1. Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
  2. Tahap preoperasional (umur 2-7 atau 8 tahun)
  3. Tahap operasional konkret (umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
  4. Tahap operasional formal ( umur 11 atau 12-18 tahun)
10. Teori Belajar Menurut Bruner
            Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau informasi dan bukan ditentukan oleh umur. Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Menurut bruner, perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembanmgan kognitif. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap:
1. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya.
2. Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
3. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
11.Teori Belajar Menurut Ausubel
            Ausubel mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru dalam bentuk struktur kognitif. Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
12. Teori Belajar  Konstruktivistik
            Pandangan konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna  oleh siswa kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru dituntut untuk lebih mengetahui jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan kata lain, hakekat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
13. Teori Belajar Humanistik
            Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi. Teori ini sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori humanistik lebih lebih banyak banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan. Beberapa tokoh penganut aliran humanistik antara lain:  
a.       Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap dalam belajar, yaitu; pengalaman konkret, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
b.      Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi empat yaitu; aktifis, reflektor, teroris, dan pragmatis.
c.        Hubermas, membedakan tiga macam atau tipe belajar yaitu; belajar teknis, belajar praktis, dan belajar emansipatoris.
d.      Bloom dan Krathwohl, dengan tiga kawasan tujuan belajar yaitu; kognitif, psikomotor, dan afektif.
e.       Ausubel, walaupun  termasuk juga kedalam aliran kognitifisme, ia terkenal dengan konsepnya belajar bermakna (Meaningful learning).
14. Teori Belajar Sibernetik
                 Teori belajar sibernetik merupakanteori belajar yang relative baru disbanding dengan teori-teori belajaryang sudah dibahas sebelumnya. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi. Menurut teori belajar sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini lebih mementingkan system informasi dari pesan atau materi yang dipelajari. Oleh sebab itu, teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
                 Teori ini dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendeketen-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Gage dan Berliner, Biehler, dan Snowman, Baine, dan Tennyson.
                 Proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengn mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
2.8 Teori Pembelajaran
1. Teori pembelajaran Koneksionisme dari Edward L. thorndike
Dalam studi Thorndike memandang bahwa prilaku sebagai suatu respon terhadap stimulus dalam lingkungan. Dari hasil penelitian yang dilakukannya, munculah hukum penaruh atau “Law of effect”. Hukum pengaruh ini menyatakan, bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakkan itu akan diulangi dalam situasi yang serupa akan lebih besar. Seseorang pada suatu saat memegang peranan penting dalam menentukan prilaku orang itu selanjutnya.
2. Teori kondisioning klasik dari Ivan P. Pavlov
Teori ini didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf serta gerak reflek setelah menerima stimulus dari luar. Metode kondisioning klasik Pavlov dapat digunakan untuk mengukur proses pembelajaran dalam 3 bentuk, yaitu: amplitude, latency, dan reseintence to extinction. Percobaan pavlov terbukti bahwa stimulus yang diberikan dapat menghasilkan rangsangan sesuai dengan kondisi yang diberikan.

3. Teori prilaku Hypothetico-deductive dari Clark L. Hull
Belajar menurut pandangan Hull merupakan perubahan tingkah laku melalui kekuatan kebiasaan. Peranan penguatan sangat diperlukan untuk terjadinya respon, dengan memperhitungkan faktor kelelahan. Hull menggambarkan bahwa belajar merupakan pembentukan antara respon dengan stimulus. Dalam hasil penelitian Hull menyimpulkan bahwa belajar terjadi tidak dengan sekali pecobaan, terjadi melalui proses pengulangan, dan terjadi karena adanya kebutuhan terhadap lingkungan untuk kelangsungan hidup. Maka belajar merupakan penguatan dengan maksud makin banyak belajar, makin banyak penguatan dan motivasi akan semakin besar untuk menuju keberhasil belajar.
4. Teori pembelajaran operant conditioning dari B. F. Skinner
Skinner berpendapat bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak ada faktor perantara. Tingkah laku atau respon tertentu akan timbul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu. Menurut Skinner belajar adalah perubahan dalam prilaku yang dapat diamati dalam kondisi yang dikontrol secara baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam teori ini ditekankan perlunya penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil belajar.
5. Prinsip teori pembelajaran dari Bulgenski
Belajar menurut Bulgenski tidak hanya atas keinginan guru atau yang harus dilaksanakan oleh guru, akan tetapi harus didasarkan oleh pengalaman, karakteristik keahlian siswa. Dalam mengidentifikasikan pengajaran terdapat empat prinsip utama menurut Bulgenski: prinsip perhatian, waktu untuk kegiatan belajar, model untuk belajar, dan kontrak hasil belajar. Keempat prinsip perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam merancang, melaksanakan proses pengajaran agar hasil belajar dapat membentuk perubahan tingkah laku menjadi optimal.

6. Modifikasi prilaku dan operant conditioning
Modifikasi prilaku dalam pendidikan mengemukakan bahwa kontrol yang positif mengandung sikapyang menguntungkan terhadap pendidikan dan akan lebih efektif bila digunakan. Dengan Three Term Contigency, peranan utama pendidik adalah menciptakan kondisi agar tingkah laku yang diinginkan saja yang diberikan penguatan. Pendidik hendaknya melakukan catatan dari kemajuan siswa sehingga dapat dilakukan perubahan program yang dilakukan siswa.
7. Teori belajar matematis
Teori belajar matematis merupakan metode penyusunan teori tertentu yang benar-benar cocok dengan teori belajar lainnya, untuk melihat kognitif, asosiasi, respon dan lain-lain. (Atkitson, Bower, dan Crother). Model pembelajaran matematis memberi kontribusi terhadap perkembangan psikologi belajar dan mengurangi kontroversi tentang permasalahan di sekitar psikologi belajar, karena data yang dihasilkan dapat dibuktikan dengan sistematis. Kontribusi utama teori belajar matematis adalah mengenai proses belajar sebagai pengolahan informasi bukannya asosiasi stimulus dan respon.
8. Teori pembelajaran pengolahan informasi
Teori informasi psikologi muncul dari temuan dan modifikasi dari teori matematika, yang disusun oleh para peneliti untuk menilai dan meninngkatkan penggiriman pesan. Pembelajaran di kelas merupakan teori proses informasi yang berkaitan secaara langsung dengan proses kognitif. Teori informasi memberikan persfektif baru pada pengolahan pembelajaran yang akan menghasilkan belajar yang efektif. Dalam teori pengolahan informasi terdapat persepsi, pengkodean, dan penyimpanan di dalam memori jangka panjang. Teori ini mengajarkan kepada siswa siasat untuk memecahkan masalah.

9. Teori pembelajaran konstruksi kognitif
Teori belajar konstruk kognitif merupakan teori yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses pertumbuhan kognitif. Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan repon dari efek stimulus. Teori ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan lama itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya.
10. Teori pembelajaran analisis tugas
Teori pembelajaran analisis tugas merupakan teori pembelajaran yang didasarkan atas dua peristiwa, yaitu hubungan antara perkembangan pikologi sipil dan militer, dan berkaitan dengan hubungan antra latihan dan pendidikan. Dalam teori pembelajaran ini segala kegiatan yang akan dilakukan dalam pembelajaran harus dirancang dengan tugas-tugas yang akan dilakukan secara jelas. Gagne menggambarkan 4 aspek dari proses pendidikan, antara lain: rencanakanlah tujuan pembelajaran dan gambaran kemampuan yang harus dimiliki siswa, aturlah situasi belajara sehingga siswa termotivasi belajar, rencanakanlah dan ujilah prosedur pengajaran, dan pilihlah media yang dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran.
2.9 Contoh RPP
            Berikut ini merupakan contoh dari penyusunan RPP, yaitu sebagai berikut:
            RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

A. Identitas
Nama Sekolah                : ...................................
Mata Pelajaran               : ...................................
Kelas, Semester              : ...................................
Standar Kompetensi      : ...................................
Kompetensi Dasar          : ...................................
Indikator                        :  ...................................
Alokasi Waktu               : ..... x  ... menit (…  pertemuan)

B. Tujuan Pembelajaran  
C. Materi Pembelajaran   
D. Metode Pembelajaran 
E. Kegiatan Pembelajaran
Langkah-langkah :
Pertemuan 1
1.      Kegiatan Awal
2.      Kegiatan Inti
3.      Kegiatan Penutup
Pertemuan  2
4. Kegiatan Awal
5. Kegiatan Inti
6. Kegiatan Penutup
Pertemuan 3. dst
F. Sumber Belajar           
G. Penilaian                     


Mengetahui                                                                                                                
Kepala Sekolah...................,                                             Guru Mata Pelajaran,



..................................                                                        ............................
NIP.                                                                                  NIP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar