my best friends

my best friends

Kamis, 16 Desember 2010

Sikap Defensif


Sikap Defensif Alias Membela Diri                               

Rounded Rectangle: Saat menghadapi suatu masalah, respon dasar makhluk hidup (manusia & binatang) adalah bertahan dengan cara fight or flight, alias melawan atau kabur. Jika kita memilih untuk melawan, maka pada saat itu defense mechanism kita bekerja. Contohnya saat mengahdapi pelecehan seksual di tempat umum, respon kita adalah menonjok si pelaku. Waah, bagus tuh! Itu artinya defense mechanism kita bekerja dengan baik.
Yang bikin repot ternyata mengontrol sikap defensif itu nggak selalu gampang. Apalagi kalau sudah berhubungan sama urusan mental. Maklum deh, hati dan otak ternyata lebih fragile dari pada tubuh kita. Biasanya kalau sudah menyangkut soal harga diri, wah defense mechanism kita bekerja mati-matian untuk membela diri. Eits, hati-hati! Kalau salah langkah bukannya menyelamatkan posisi kita, malah bikin harga diri makin jatuh!

KENALI CIRI-CIRINYA !
Saat berada dalam situasi nggak menyenangkan, saat itulah tubuh kita secara reflex akan masuk dalam defensive mood. Penyebabnya ada banyak, namun biasanya sih hal ini sering terjadi saat kita sedang dikritik. Karena kita nggak mau pada pihak yang salah. Istilahnya, saving face. Apalagi apabila kita merasa bahwa kita telah melakukan yang terbaik, atau kitalah yang paling benar, maka kritik itu akan terasa pedas dan menyakitkan banget.
Menurut ahli psikologi Sigmund Freud, pada saat ini terjadi biasanya kita akan refleks melakukan beberapa metode defense mechanism. Di antaranya adalah:
1.   Agression. Ini yang biasanya paling sering terjadi, yaitu kita melakukan serangan balik secara agresif. Yaitu dengan balik marah-marah ke si pengkritik. Kadang bahkan “dibumbui” dengan bantingan pntu segala. Hehehe… nggak jarang kita akan mengungkit-ungkit masalah lain untuk makin membuatnya jatuh.
2.   Rationalization. Ini yang sering kita lakukan. Saat dikritik, otak kita langsung sibuk mencari-cari alasan supaya kita nggak berada di posisi yang salah. Contohnya bervariasi, misalnya “Ah, pantas aja gue telat. Tadi macet banget sih, ujan pula!” atau “Ah, yang telat bukan cuma gue kok. Temen-temen juga pada telat datang, tuh!”
3.   Projection. Manusia memang makhluk social. Sampai-sampai ketika dikritik, kita pun membawa orang lain untuk menanggung kritik tersebut. Dengan begini beban kesalahan kita semakin ringan, karena kesalahan itu ditanggung dua orang. Heheehe. Misalnya, “Maaf ya, gue telat ngumplin tugas kelompok, abisnya temen tim gue gak asik sih, dia males banget kalau disuruh browsing.”
4.   Splitting. Begitu dikritik kita langsung kesal sama orang itu  dan menganggapnya sebagai orang jahat yang nggak suka melihat kita senang. Hal ini merupakan sikap defensive yang primitive, karena kita langsung mengkategorikan (split) orang tersebut ke “kotak” baik dan jahat, hanya karena satu kritikan.
Rounded Rectangle: AWAS BAHAYA!
Dalam defense mechanism ini sering kali lebih parah jika lawannya adalah orang yang kita kenal, misalnya anggota keluarga atau sahabat sendiri. Maklum sebagai seorang sahabat, kita ingin agar dia selalu mendukung setiap langkah dan keputusan yang kita ambil. Makannya, saat si sahabat melontarkan kritik, harga diri kita langsung terluka dan menganggapnya sebagai sahabat yang berkhianat. Duh, padahal nggak semua kritik itu sifatnya jelek, lho. Bisa saja dia melontarkan kritikan yang membangun. Lagipula, itulah gunanya sahabat kan? Untuk mengingatkan kita agar tetap berada di “jalan” yang benar. 
Makannya, berbahaya jika kita tetap bersikap defensif secara ugal-ugalan. Meskipun wajar, tapi sikp defensif ini perlu di-rem, supaya nggak kebablasan. Bahayanya untuk diri sendiri, kita jadi menutup diri terhadap masukan-masukanyang sebenarnya positif untuk pertumbuhan mental kita. Nah, kalau sudah begini, berarti kitalah orang yang paling berperan terhadap kegagalan diri kita sendiri. 















HOW TO HANDLE
Sudah tahu bahayanya, kan? Pastinya nggak mau dong kalau hal itu kejadian sama kita? Berikut itu adalah cara-cara untuk mengontrol supaya “singa” defensif dalam diri kita itu nggak terus “mengaum”.


#1. Flight. Tedi kan sudah dibilang kalau respons dasar manusia adalah figh or flight. Biasanya, kita bersikap defensif dengan fight (melawan balik) lalu flight (meninggalkan si lawan bicara dengan keadaan kesal). Nah, kali in, metodenya dibalik, deh. Tinggalkan lawan bicara kita. Hal ini berguna untuk memperkecil skala “kerusakan”yang mungkin terjadi kalau kita tetap stay di tempat.
#2. Take a Time Out. Saat kita menyendiri ini, “susun” emosi kita agar kembali stabil. Caranya bermacam-macam, bisa dengan nangis atau marah-marah sama udara kosong. Atau, kita juga bisa curhat  ke orang lain yang dipercaya. Tapi ingat, pilih teman curhat  yang baik, yaitu “tugasnya” hanya mendengarkan, bukan memberika opini yang bisa bikin masalah tambah runyam.
#3. Fight. Saat sebagian emosi sudah tersalurkan, saatnya untuk fight. Tapi melawan dengan cara baik-baik, lho.datangi kembali si sumber kritik dengan kepala dingin, lalu tanyakan alasan dibalik segala kritiknya. Nah, disaat inilah kekuatan mental kita di uji. Kalau kita lagi-lagi merasa kesal mendengar kritik tersebut, jangan ragu-ragu untuk mengulangi langkah 1 dan 2.
#4. Deflect. Ini adalah tahap dimana kita mulai bisa menerima isi kritik tersebut, walaupun mungkin nggak seluruhnya. Kalau sudah berhasil melewati tahap ini, maka selamat! Walaupun masih ada beberapa hal yang mengganjal, tapi setidaknya kita sudah selangkah lebih maju dalam mengontrol sikap defensif itu. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar